Monday, July 23, 2007

KIAT PASUTRI MENGELOLA UANG

Ada uang semua beres. Pemeo tersebut bisa benar, tapi sering pula tidak, apalagi bila diterapkan dalam kehidupan berumah tangga. Persoalan uang malah sering dituding sebagi biang pemicu perselisihan dalam keluarga. Bagaimana sebaiknya pasangan suami-istri (pasutri) mengelola keuangan keluarga, paparan berikut boleh diambil manfaatnya.

"Uang memang masalah nomor satu yang sering dipertengkarkan para pasangan suami-istri," itulah pendapat Howard Markman, direktur pusat penelitian perkawinan dan keluarga di Universitas Denver, Amerika, yang juga turut menulis buku Fighting for Your Marriage.
Itu berarti, setiap keluarga entah kelompok yang berkelimpahan atau yang penghasilannya pas-pasan, selalu rawan terhadap perselisihan gara-gara uang.
Bagi Maria Lasswell, pimpinan lembaga terapi untuk perkawinan dan keluarga di Amerika, potensi itu cenderung muncul akibat perbedaan kebiasaan dalam menggunakannya. Kebiasaan yang diperoleh melalui proses belajar alamiah sepanjang hidupnya, menurut Lasswell, sudah seperti karakter bawaan yang tidak dapat diubah seketika.
Drs. Richard Sutrisno, staf pengajar di LPPM, mencoba melihat lebih ke inti persoalan utama yaitu kegoyahan keluarga. "Sedangkan penyebabnya, bisa 1001 sumber. Mungkin bersumber dari uang, tapi bisa juga anak, saudara, tetangga, atau yang lain."
Meski demikian Sutrisno mengakui, pertengkaran suami-istri gara-gara fulus cukup banyak terjadi. "Malah, khusus pada keluarga tingkat ekonomi menengah bawah masalah tersebut bisa mengakibatkan keretakan rumah tangga."


"Uang saya, uang kamu"
Berbeda dengan keluarga tradisional di mana hanya suami yang berperan mencari penghasilan, maka dalam keluarga "modern" banyak dijumpai pasangan yang sama-sama bekerja. Tak ayal kondisi dua kantung penghasilan ini pun memerlukan strategi khusus dalam mengelolanya. Pasangan dr. Hario - Berti Tilarso bisa jadi cermin.
"Sejak belum menikah, Mas Hario sudah menitipkan gajinya pada saya. Alasannya, untuk keperluan berumah tangga, seperti kontrak rumah, beli mobil, resepsi," papar Berti Tilarso, instruktur kebugaran.
Namun setelah menikah kesibukan Berti jadi berlanjut. Mereka lalu membuka rekening di bank yang, meski atas nama suami, sang istri tetap bisa menarik dana. "Pertimbangannya sederhana, dengan profesi dokternya, kalau mau kredit apa-apa 'kan lebih mudah. Jadi di dalam rekening itu bercampur semua penghasilannya dengan penghasilan saya."
Sebagai pemegang kendali keuangan rumah tangga, Berti tidak memuskilkan suaminya menggunakan dana di rekening bersama mereka. Tapi, "Jangankan menulis cek, bertanya berapa jumlah saldo di rekening pun tidak pernah dilakukannya," tutur Berti. Bahkan saat bank tempatnya menabung memberikan jasa modern seperti phone banking atau ATM, suaminya belum tergerak untuk memanfaatkannya. "Padahal saya memberi tahu dia nomor-nomor penting seperti nomor bank maupun rekening. Tapi ya sudah, mungkin memang saking percayanya, dia pasrah saja pada saya. Untuk kebutuhan sehari-hari pun, dia akan minta saya, istilah dia 'uang bensin'. Saya sih senang saja merangkap tugas sebagai istri, sekaligus sekretaris dan bendahara."
Serupa dengan Berti Tilarso, Ny. Arief Rachman berpendapat, "Bagi kami tidak ada istilah 'uang saya' atau 'uang kamu', karena yang kami peroleh itu 'kan dipakai bersama-sama. Meski penyimpanannya bisa di rekening pribadi kami masing-masing. Yang penting, kalau ada kebutuhan, bisa segera teratasi."
Menyinggung masalah penyimpanan dalam bentuk satu atau dua rekening pribadi, Richard Sutrisno tidak melihat mana yang lebih baik. "Yang penting adalah itikad si penyimpan. Bisa saja ia tidak memberi tahu berapa jumlah uang di rekeningnya, karena akan disimpan untuk keperluan nanti. Misalnya, memberi kejutan untuk anggota keluarga yang berulang tahun, atau persiapan anak masuk universitas, yang kalau harus diambil dari dana sehari-hari bisa merepotkan," ujarnya.
Namun, menurut dia lagi, ada saja orang yang sengaja merahasiakan simpanan uangnya untuk memenuhi kepentingan diri sendiri dengan menerapkan konsep "uang saya atau uang kamu" dalam kehidupan rumah tangganya. Ini bisa mengindikasikan adanya unsur niat tidak baik, curiga, atau tidak percaya dari salah satu pasangannya, yang bisa berkembang menjadi perselisihan.
Karena itu, "Masalahnya bukan disimpan pada satu atau dua rekening terpisah. Tapi pada tujuannya, untuk membahagiakan keluarga yang bisa dicapai dengan bermacam-macam cara," tutur Sutrisno.

Menentukan kebutuhan prioritas
Kebahagiaan keluarga, menurut Richard Sutrisno, akan tercapai antara lain bila pasangan dapat menata keuangan dengan baik. "Peganglah motto, banyak yang ditawarkan, beli sesuai kebutuhan."
Untuk menentukan kebutuhan ada beberapa pertanyaan yang bisa digunakan untuk menguji. Pertama, 'Apa barang yang dibutuhkan?' Selanjutnya, sebagai penguat, 'Benarkah barang itu benar-benar kita perlukan?' Pertanyaan berikut akan mencoba mengukur kekuatan kantung kita, 'Apakah dananya ada?' Nah, kalau sampai dana yang ada tidak mencukupi, kita perlu menghitung dengan 'Apakah kuantitasnya bisa dikurangi?' Kalau ternyata tidak bisa, satu-satunya jalan adalah, 'Apakah kualitasnya bisa dikurangi?'
"Untuk menyelesaikan masalah penentuan kebutuhan harus secara menyeluruh. Dengan mencoba menghitung begini, kita telah berusaha membuat persiapan untuk cadangan kehidupan esok hari, karena kita tidak perlu berutang," papar pengasuh Rubrik Ruang Keuangan dan Rubrik Wiraswasta di sebuah majalah itu lebih lanjut.
Ia pun mengambil contoh sederhana, "Saat orang memutuskan membeli 5 kg beras Rojolele, tapi ternyata kekuatan kantungnya tidak memungkinkan, maka ia perlu menghitung, apakah jumlahnya bisa dikurangi? Ternyata tidak mungkin, karena beras itu dibutuhkan oleh seluruh anggota keluarganya. Jalan keluarnya, cobalah membeli beras jenis lain dengan mutu yang lebih rendah dan harga yang lebih murah."
Mengenai penggunaan dana pada keluarga bersumber penghasilan ganda bisa didahului dengan kesepakatan bersama. Misalnya, Lina (40) dan Henry (40) yang telah 15 tahun berumah tangga membagi tanggung jawab. Bila tagihan listrik ditanggung suami, maka tagihan telepon wajib dibayar istri. Sedangkan keperluan anak-anak ditanggung berdua. Namun kunci sebenarnya adalah buku besar tempat pasangan itu mencatat setiap pengeluaran untuk kebutuhan rumah tangga.
Hal serupa pernah dilakukan oleh Berti Tilarso. "Tapi kebiasaan tersebut saya tinggalkan sejak bank mengeluarkan billing statement. Selain itu karena pengeluaran makin banyak, sehingga pembukuan makin rumit." Jadi, ia mengaku, sekarang ia hanya mencatat barang bernilai besar yang dibelinya tanpa mencantumkan harganya.
Ny. Arief Rachman pun mengaku bisa mumet bila membayangkan pembukuan, "Karena di sekolah saya diajari bagaimana mengatur belanja, jadi saya tidak sampai kerepotan meski tanpa pembukuan." Yang ia lakukan adalah, menghitung pemasukan, "Lalu, kami tentukan, gaji untuk belanja kebutuhan pokok atau rutin, seperti membayar tagihan rekening, PRT, uang sekolah, dll. Sedangkan sebagian penghasilan tambahan Bapak dari berceramah digunakan untuk keperluan sehari-hari, dan sebagian lainnya, ditabung."

Tidak ngoyo
Kesepakatan berdua tak hanya perlu dalam menentukan kebutuhan sehari-hari, juga saat menentukan prioritas kebutuhan tambahan lain. Karena keputusan sepihak memungkinkan timbulnya rasa kecewa pada salah satu pihak. "Pernah suatu ketika seorang istri merasa sangat sedih karena tidak bisa membeli barang yang sangat ia inginkan dengan uangnya sendiri. Alasannya, ia tidak ingin ribut dengan suaminya, karena barang itu bukan termasuk kebutuhan prioritas," Maria Lasswell mengungkap suatu kasus.
Pendapat Maria pun ternyata telah jauh hari dipraktekkan oleh Ny. Arief Rachman, "Di luar kebutuhan wajib, kami berdua bersepakat memprioritaskan pendidikan bagi anak kami untuk bekal masa depan."
Kalau suatu ketika ada salah seorang anaknya meminta uang, ia akan melihat tujuan penggunaannya dan seberapa mendesak. Sekiranya kurang mendesak ia berusaha tidak memberikan jawaban yang mengecilkan, misalnya, "Bukannya Ibu tidak punya uang, tapi dilihat dulu ya, karena keperluan kita banyak." Hal ini tak lain juga untuk menanamkan pengertian pada anak-anak bahwa orang tua pun tidak mudah dalam mendapatkan uang.
Penentuan prioritas kebutuhan paling terasa manfaatnya bila ingin membeli barang kebutuhan yang cukup mahal. Bahkan bila barang tersebut tidak sangat perlu, menurut pengalaman Ny. Arief Rachman, tidak tertutup kemungkinan pengadaannya ditunda.
"Bagi orang lain mungkin mobil termasuk kebutuhan penting, namun bagi kami saat itu, memiliki rumah yang cukup baik lebih mendesak untuk diadakan," ujarnya memberikan contoh.
Pertimbangan yang sama ia berlakukan dalam memenuhi keinginan pribadinya. "Saya akan pakai barang yang sudah ada saja, tapi tidak pernah berangan-angan. Kalau memang tidak bisa beli perhiasan, ya tidak usah beli," paparnya tentang prinsipnya tidak ngoyo untuk membeli sesuatu yang sanggup dia beli.

Kepentingan pribadi = kepentingan keluarga
Namun sebagai pasangan yang terdiri atas individu-individu, tak jarang setiap individu memiliki keinginan untuk membeli sesuatu yang bukan bagian dari prioritas kebutuhan keluarga.
Menyikapi keadan tersebut, Ny Arief Rachman berpendapat, "Harus masuk di akal, jangan sampai membabi buta sehingga mengganggu urusan sehari-hari. Selain dana yang digunakan harus berasal dari dana yang semula hanya disimpan, juga dilihat kesempatan untuk mendapatkannya."
Sering ia diingatkan suaminya karena berpikir berlama-lama untuk membeli atau tidak sebuah barang, "Kalau uangnya cukup, barangnya pun tinggal satu-satunya, atau kesempatannya cuma saat itu, kata Bapak, 'Wis ojo mikir-mikir, beli saja.' Takutnya, jangan sampai sudah capek mikir, kita tidak bisa beli barang itu karena kita sudah jauh atau barang itu sudah nggak ada. Kita pun kecewa sepanjang hari." Kekecewaan itulah yang, menurutnya, mahal dan sulit ditebus.
Dalam hal membelanjakan uang untuk kepentingan individu suami atau istri, Sutrisno kembali mengutamakan pentingnya keterbukaan. "Katakan saja, apa yang diperlukan. Seandainya, istri memerlukan tata rias, keperluan itu jangan diartikan sebagai keperluan pribadi istri. Karena, istri cantik dan rapi itu 'kan untuk menyenangkan keluarga juga." Demikian sebaliknya, bila suatu ketika suami harus mengeluarkan uang untuk menjamu rekan kantor, tentu didasarkan untuk kepentingan keluarga.
Kesadaran ini pun harus terus dipertahankan, agar jangan sampai terjerumus untuk berperilaku boros. Bagi mereka yang cenderung berwatak demikian, "Jangan pernah bosan mengingatkan akibatnya bila kita mengeluarkan dana di luar kemampuan. Walaupun lebihnya sedikit, lama-lama jadi besar. Belum lagi kalau kekurangan itu berusaha ditutup dengan berutang," ujar Sutrisno menganjurkan untuk menghindari utang yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif karena bisa menjerat leher semakin dalam.
Utang tersebut berbeda dengan melakukan kredit pemilikan rumah di bank. "Biasanya pihak bank sudah memperhitungkan kemampuan kreditor." Dalam keadaan demikian Sutrisno mengingatkan, "Jumlah uang yang kita pakai untuk kebutuhan hidup bukan lagi sebesar seluruh gaji kita, melainkan gaji dikurangi utang terhadap bank."
Pemotongan langsung terhadap pendapatan tersebut pun, menurut Pimpinan Proyek S1-D3 LPPM itu, berlaku pada mereka yang tidak memiliki kredit rumah, "Tapi untuk tabungan yang besarnya bisa ditentukan sendiri dengan suatu persentase tertentu, tergantung pada besarnya pendapatan." Untuk mereka yang memiliki pendapatan yang sekadar cukup, ia menganjurkan, perlu menyisihkan minimal 10%.
Dalam keadaan kurang, nilai yang disisihkan pun tidak seharusnya dikurangi, "Karena tabungan bukanlah sisa kelebihan. Tabungan sebenarnya adalah kebutuhan sekarang untuk digunakan nanti. Jadi sama dengan membeli kebutuhan wajib lainnya, beras misalnya. Tabungan adalah pengeluaran dana yang wajib kita sisihkan langsung setelah menerima gaji."
Lambat laun tabungan tersebut akan membesar, sehingga pemiliknya akan dipaksa berpikir untuk apa uang simpanannya. "Investasi misalnya. Bentuknya bisa bermacam-macam, emas batangan, saham, malah kalau cukup besar bisa untuk membeli tanah."
Menurut Ny. Arief Rachman, pembicaraan tentang uang itu sensitif. Bila ada istri atau suami yang terpaksa ingin tahu berapa banyak tabungan milik pasangannya, ia menganjurkan untuk lebih teliti memilih kata-kata.
"Pengalaman saya, selain lagu bahasa yang lembut, kata 'barangkali' bisa menghaluskan pertanyaan, misalnya 'Bapak punya uang di bank, barangkali?' Sehingga suami tidak merasa seperti ditodong," ujar wanita berkulit terang tersebut memaparkan strateginya untuk menghindari perselisihan karena uang.

(Shinta Teviningrum: Intisari 1997)

1 comment:

roemah nostalgia said...

Asalamualaikum Wr Wb.
Salam kenal!
Mohon izin mem-forward tulisan yang baik baik ke blog saya ... tentunya link url tetap di blog aslinya.

best wishers,
Wiera Tjibinong